Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Awal Khadijah Bertemu dan Menjadi Istri Rasullullah Muhammad Saw


Kisah Awal Khadijah Bertemu dan Menjadi Istri Rasullullah Muhammad Saw 

Kisah Awal Khadijah Bertemu dan Menjadi Istri Rasullullah Muhammad Saw

Khadijah RA bukanlah nama asing bagi kita. Mendengarnya, terbersitlah di dalam benak, sosok saudagar wanita yang menjadi istri seorang Nabi Besar, nabi akhir zaman, Muhammad SAW. Seorang wanita yang pertama kali masuk Islam.

Khadijah lahir di Makkah dari rahim wanita Quraisy bernama Fathimah. Sang ayah adalah seorang tokoh Quraisy bernama Khuwailid. Lengkapnya, Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qusay.

Khadijah RA merupakan istri Nabi SAW yang paling dekat dalam hal nasab. Nabi SAW sendiri adalah putra Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abd Manaf bin Qusay. Artinya, mereka berdua sama-sama keturunan Qusay.

Ayah Khadijah adalah seorang saudagar. Di kalangan masyarakat Quraisy, beliau merupakan seorang tokoh yang sangat terhormat. Oleh karenanya, Khadijah pun menjadi sosok wanita Quraisy yang sangat, bahkan paling terhormat. Kemuliaan akhlaq, kecerdasan, paras yang cantik, serta kekayaan yang dimiliki, memertegas tingginya martabat beliau di mata penduduk Makkah.

Dalam budaya Arab jahiliyah, banyak orang meyakini bahwa perempuan adalah makhluk pembawa sial. Oleh karenanya wajar bila kaum lelaki Quraisy memerlakukan perempuan seolah seperti binatang ternak, bukan manusia! Kasus pembunuhan bayi perempuan acap kali terjadi. Tindakan sadis ini termotivasi oleh perasaan takut kalau-kalau anak perempuan mereka kelak menjadi biang kemiskinan dan keterhinaan keluarga.

Berkaca dari potret budaya ini, sungguh fenomenal bila Khadijah, sebagai seorang wanita Quraisy, malah menjadi sosok yang sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat luas. Sampai-sampai, saudagar kaya ini memeroleh gelar Ath-Thahirah, yang artinya “Yang Suci”. Sungguh menakjubkan karena gelar itu diberikan oleh mereka para phobia perempuan!

Ternyata, fenomena paradoksi ini terjadi karena akhlaq Khadijah yang benar-benar sangat pantas menjadi teladan bagi siapa saja. Kekayaan yang menyelimuti beliau tidaklah membuahkan kesombongan dan kesenjangan sosial. Sebaliknya, keluasan rejeki itu menjadikan Sang Saudagar sebagai sosok dermawan penuh ketulusan. Khadijah banyak menolong kaum faqir miskin, para janda, anak yatim, orang sakit dan cacat. Bahkan tak segan beliau menikahkan para gadis dari keluarga miskin.

Di kala gadis, Khadijah binti Khuwailid dinikahi oleh seorang pemuda bernama ‘Atiq bin ‘Abid. Namun sayang, tak berselang lama, sang suami meninggal dunia. Setelah menjadi janda, Khadijah menikah dengan Abu Halah bin Zararah At-Tamimi. Dan dari pernikahan kedua ini, beliau dianugerahi seorang anak dan diberi nama Hindun. Namun seperti suami beliau yang pertama, tak lama Abu Halah pun meninggal dunia.


Setelah menjanda untuk kali kedua, para pemuda dan pembesar Quraisy berlomba-lomba untuk menjadikan Khadijah sebagai pendamping hidup berumah tangga.

Setelah wafatnya Khuwailid, Khadijah mewarisi usaha dagang sang ayah. Kelihaian putri Khuwailid dalam berdagang teruji dan terbukti nyata. Di tangan beliau, usaha yang didirikan oleh saudagar Makkah yang terpandang itu semakin berkembang pesat.

Khadijah adalah tipe wanita rumahan. Beliau tak suka bepergian. Maka dalam ekspedisi dagang, beliau biasa mengamanahkannya kepada orang kepercayaan.

Usaha dagang Khadijah merupakan yang terbesar se-Makkah. Besarnya usaha tersebut digambarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam kitab Tabaqat, kapan saja kafilah-kafilah dagang Makkah mulai melakukan perjalanan, muatan milik Khadijah setara dengan milik seluruh pedagang Quraisy lainnya. Maka dari itu putri Khuwailid ini memeroleh julukan Sentuhan Emas. Artinya, manakala beliau menyentuh debu, maka benda halus itu pun akan berubah menjadi emas. Begitulah ibaratnya. Sebab itu pula, masyarakat Makkah juga menjuluki Khadijah dengan Putri Quraisy (The Princess of Quraisy) dan Putri Makkah (The Princess of Makkah).

Dengan kenyataan demikian, wajarlah bila sosok Khadijah menjadi impian kaum lelaki Quraisy.

Khadijah Bermimpi, Akan Menikah dengan Rasullulah Muhammad Saw


Namun Allah SWT berkehendak lain. Suatu malam di saat tidur Si Putri Makkah bermimpi. Sebuah mimpi indah yang tak biasa. Dalam mimpi itu beliau melihat matahari turun dari langit, masuk ke rumah dan memancarkan cahaya ke seluruh penjuru. Cahaya itu lalu menyinari semua rumah di Makkah, hingga tak ada satu rumah pun di kota itu yang terselimuti gulita malam.

Esoknya, Khadijah menceritakan mimpi tersebut kepada Waraqah bin Naufal, sepupu beliau. Waraqah adalah ahli tafsir mimpi dan ahli sejarah purbakala. Selain itu beliau juga memiliki wawasan luas tentang agama yang dibawa oleh para nabi terdahulu.

Setelah Khadijah berkisah, Waraqah mulai mentakwil mimpi sang sepupu. Beliau mengatakan bahwa putri pamannya ini kelak akan dinikahi oleh seorang nabi akhir zaman!

Mendengarnya, Khadijah merasakan hal yang luar biasa. Beliau penasaran dan bertanya-tanya. Maka segera saja beliau menanyakan tentang sosok nabi yang dimaksud oleh Waraqah. Dari negeri mana, suku apa, dan keluarga siapa beliau berasal. Pun beliau tanyakan pula siapa nama nabi tersebut. Waraqah memberikan jawaban atas semua pertanyaan Khadijah. “Nama beliau Muhammad,” tandas sang penafsir mimpi.


Khadijah pun pulang dari rumah Waraqah dengan hati berbunga-bunga. Belum pernah kiranya beliau merasakan kegembiraan seperti hari itu. Sejak itu, Khadijah selalu dirundung rindu, selalu menunggu-nunggu dengan rasa penasaran, siapakah gerangan Nabi Muhammad?

Di awal tahun 595 M, para saudagar Makkah mengumpulkan kafilah musim panas sebagai persiapan ekspedisi dagang ke Syiria. Demikian pula Khadijah, beliau sudah menyiapkan komoditas dengan rapi. Namun ada satu hal belum berhasil didapati. Ialah seorang lelaki yang akan beliau amanahi sebagai wakil. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, Khadijah adalah wanita rumahan, beliau biasa mengamanahkan ekspedisi dagang kepada orang kepercayaan. Sebenarnya, beberapa orang sudah disarankan untuk mengemban amanah itu. Tapi Putri Quraisy tak menerima satu pun dari mereka. Hal ini menjadi perbincangan orang hingga terdengar oleh Abu Thalib, paman Muhammad.

Mendapat berita adanya sebuah peluang kerja yang menjanjikan, terlintas di benak abu Thalib sosok sang keponakan yang berkepribadian mulia, beliau berniat akan merekomendasikannya kepada Khadijah. Muhammad yang ketika itu berusia 25 tahun dirasa sangat layak mendapatkan kehormatan tersebut. Meski beliau tahu bahwa pemuda jujur itu belum memiliki pengalaman untuk pekerjaan seperti itu, sebagai paman, Abu Thalib yakin Muhammad akan mampu melaksanakannya dengan baik, dengan bekal bakat dan semangatnya yang kuat untuk terus belajar.


Akhirnya, tak berlama-lama, tanpa meminta persetujuan Muhammad terlebih dahulu, Abu Thalib mengutus Atiqah, saudara perempuan beliau, untuk pergi menemui Khadijah guna menyampaikan penawaran itu. Maka pergilah Atiqah ke rumah sang saudagar.

“Muhammad?” Khadijah bertanya dalam hati. Beliau teringat tafsir mimpi yang pernah disampaikan Waraqah bin Naufal. Sosok yang dilukiskannya waktu itu persis dengan Muhammad yang digambarkan oleh Atiqah saat ini. Bahwa pemuda itu dari suku Quraisy, dari Bani Hasyim, akhlaqnya terpuji, berbudi pekerti tinggi.

Degub jantung sang saudagar berdetak lebih cepat, ada rasa yang sulit dieja dengan kata di relung qalbu sana.“Baiklah,” Khadijah memberi jawaban kepada Atiqah, “aku terima Muhammad, dan terima kasih banyak atas bantuannya. Semoga barakah Allah dilimpahkan untuk kita.”

Amat cerah wajah Khadijah dengan senyum mengembang di wajah. Di balik itu ada ucapan yang beliau sembunyikan karena malu untuk mengungkapkan. Terbayang oleh beliau, pemuda bernama Muhammad itu akan menjadi suami tercinta.

Suatu hari Muhammad mendatangi rumah Khadijah dan mendapat sambutan ramah. “Wahai Al-Amiin, katakanlah apa keperluanmu datang kemari?”

“Kami sekeluarga memerlukan nafkah dari bagianku dalam rombongan niaga. Keluarga kami sangat membutuhkannya guna mencarikan calon istri bagi anak saudaranya yang yatim,” jawab Muhammad dengan pandangan menunduk penuh kerendah-hatian.


Putri Makkah menatap sang pemuda  dengan takjub. “Oh, begitukah…? Muhammad, upah itu sedikit, tidak cukup memenuhi kebutuhan yang engkau maksud,” Khadijah berhujjah,  “tapi tak mengapa, biar aku sendiri yang mencarikan jodoh untukmu.”

Khadijah diam sejenak. Hening, syahdu suasana rumah saudagar kaya raya itu. Baru sesaat kemudian, “Aku hendak menikahkanmu dengan seorang wanita bangsawan Arab yang baik hatinya, kaya akan harta, di idamkan oleh banyak pembesar Arab dan negeri-negeri lain namun ditolaknya. Kepada dirinya aku akan mengajakmu.” Ucapan Khadijah kembali terhenti. Beliau menunduk. Beberapa saat kemudian diteruskanlah,“Akan tetapi sayang sekali, ia dahulu pernah bersuami… Namun andai saja engkau mau menerimanya, ia akan menjadi pengkhidmat dan pengabdi kepadamu.”

Diam, tiada jawaban terucap dari lisan Muhammad. Suasana semakin hening, syahdu. Muhammad Al Amiin, pemuda jujur berbakat berkepribadian mulia itu mohon diri, pamit pulang.

Sesampainya di rumah, Muhammad bercerita kepada paman beliau, Abu Thalib, perihal pembicaraan di rumah Khadijah. “Hatiku sangat tersinggung oleh kata-kata Khadijah. Sepertinya dia memandang remeh keluarga kita,” ucap Muhammad. Atiqah marah mendengar cerita pemuda jujur itu. Beliau memang cepat naik darah kalau kehormatan Bani Hasyim merasa direndahkan. “Aku akan mendatanginya!” cetus Atiqah sambil bangkit berdiri lalu pergi.

Tak berapa lama Atiqah tiba di rumah Khadijah. Beliau langsung menegur wanita kaya raya itu. “Wahai, Khadijah, jika dirimu punya harta kekayaan dan kebangsawanan, maka kami pun memiliki kemuliaan dan kebangsawanan. Mengapa dirimu menghina putra saudaraku?”

Khadijah terkejut dengan kata-kata lantang Atiqah. Beliau tak menyangka sama sekali kalau apa yang diucapkan kepada Muhammad dianggap sebagai penghinaan. Beliau berdiri menenangkan hati sahabatnya. “Siapakah gerangan yang berani menghina keluarga dan keturunanmu, wahai Atiqah? Jujur saja kukatakan kepadamu bahwa diriku sendirilah yang kumaksudkan kepada Muhammad, keponakanmu. Bila ia mau, aku bersedia menikah dengannya. Namun bila tidak, maka aku berjanji tak akan bersuami lagi hingga mati!” tegas Khadijah dengan mata berkaca-kaca.


Ucapan itu membuat Atiqah terdiam. Beberapa saat kemudian wajah kedua wanita bangsawan itu sama-sama berubah cerah, sumringah. Percakapan mereka menjadi lembut dan serius. “Tapi, Khadijah, apakah suara hatimu sudah diketahui oleh Waraqah bin Naufal, sepupumu?” tanya Atiqah, “jika belum, cobalah meminta pertimbangan beliau dahulu.”

“Dia belum tahu, tapi katakanlah kepada saudaramu, Abu Thalib, agar beliau mengadakan perjamuan sederhana. Jamuan minum di mana sepupuku diundang. Di sanalah nanti kita adakan majelis khitbah,” kata Khadijah seolah-olah sedang mengatur siasat. Namun sejatinya beliau yakin bahwa Waraqah menyetujui, karena orang itulah yang pernah menafsirkan mimpi bahwa Khadijah akan bersuamikan Muhammad, Nabi Akhir Zaman.


Atiqah pulang membawa kelegaan hati. Beliau merasa bahagia dan segera menyampaikan kabar baik ini kepada sanak keluarga. Abu Thalib, Abu Lahab, Abbas, dan Hamzah, semuanya diberitahu. Keluarga Bani Hasyim gembira dibuatnya.


Dalam pada itu, di keluarga Khadijah sedang ada pembicaraan. Putri Khuwailid dengan hati-hati berkata kepada Waraqah, “Wahai sepupuku, bagaimana aku akan menolak Muhammad, padahal ia seorang yang sangat amanah, berakhlaq mulia, keturunan bangsawan pula? Terlebih lagi pertalian kekeluargaannya luas, bagaimana aku akan menolaknya?

“Engkau benar, Khadijah. Namun, bukankah ia tak berharta,” Waraqah beralasan.
“Kalau ia tak berharta, maka hartaku cukup. Aku tak perlu lagi darinya. Aku mohon tolong kepadamu untuk menjadi waliku, nikahkanlah aku dengan Muhammad!” Khadijah menyerahkan urusannya kepada Waraqah.

Rasullulah Muhammad Saw, Melamar Khadijah 


Waraqah bin Naufal menemui Abu Thalib. Beliau memberitahukan bahwa pihak keluarga perempuan sudah bermufakat merestui pernikahan Khadijah dengan Muhammad. Saat itu pula besarnya mahar disepakati, yaitu lima ratus dirham.

Kini Khadijah binti Khuwailid, saudagar wanita yang kaya raya itu telah resmi menjadi istri Muhammad bin Abdullah, pemuda Quraisy yang terkenal berbudi pekerti mulia.

Kelak pasangan ini akan menjadi keluarga istimewa dalam sejarah dunia. Muhammad akan diangkat oleh Allah SWT menjadi nabi dan rasul terakhir, tiada lagi setelahnya. Dan Khadijah akan menjadi wanita yang pertama kali beriman setelah suami beliau menerima wahyu yang pertama.

Khadijah RA mendampingi suami selama 24 tahun, dan wafat dalam usia 64 tahun 6 bulan. Tahun meninggalnya beliau dikenal sebagai Amul Huzni (Tahun Kesedihan).


Sebagai istri manusia istimewa pilihan Allah SWT, Khadijah memiliki beberapa karakter unggulan yang hendaknya menjadi teladan bagi para istri di zaman-zaman setelahnya. Keunggulan beliau sebagai wanita antara lain ditulis singkat di bawah ini:

Istri Cerdas Berakhlaq Mulia


Setelah menerima wahyu pertama, Nabi Muhammad SAW  pulang dari Gua Hira di waktu fajar dalam keadaaan ketakutan dengan badan gemetaran. Beliau berkata, “Selimutilah aku… selimutilah aku…”

Menghadapi hal ini, Khadijah minta diceritakan perihal peristiwa yang menimpa sang suami. Setelah menyimak penuturan sang suami, beliau berusaha menenangkan dan memberi motivasi.“Allah akan menjaga kita wahai Abu Qasim. Bergembiralah wahai putra pamanku, dan teguhkanlah hatimu. Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh aku berharap Engkau menjadi Nabi bagi umat ini. Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selamanya, karena Engkau telah menyambung silaturahim, memikul beban orang yang memerlukan, memuliakan tamu, dan menolong para pelaku kebenaran,” Khadijah bertutur dengan penuh kelembutan, sehingga pria di hadapannya pun menjadi tenang dan tenteram.

Menjadi Wanita Terbaik


Rasulullah SAW memuji Khadijah RA dengan, “Dia adalah wanita terbaik, karena beriman atas kenabianku saat orang-orang masih bimbang dan ragu. Dia telah membenarkan aku saat orang-orang mendustakanku. Dia telah mengorbankan semua harta bendanya ketika orang lain mencegah kemurahannya terhadapku. Dia telah melahirkan bagiku keturunan yang tidak kudapatkan dari istri-istriku yang lain.”

Tetap Setia Kepada Suami di Semua Kondisi


Sejak diangkat menjadi nabi, Muhammad SAW Allah uji dengan tantangan-tantangan hidup yang belum pernah hadir sebelumnya. Maka beliau meresponnya dengan pernyataan, “Waktu tidur dan bersenang-senang sudah habis!” Allah SWT berfirman,“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ sedangkan mereka tidakdiuji lagi?” (QS. Al-Ankabut:1-2)

Cobaan berat dalam berdakwah yang menimpa Rasulullah SAW dirasakan pula oleh Khadijah RA. Di antara cobaan berat beliau adalah meninggalnya kedua putra tercinta. Selain itu, beliau pernah menyaksikan sendiri penyiksaan yang menimpa seorang wanita bernama Sumayyah dalam menjaga iman, hingga wafat sebagai syahidah pertama. Juga pemboikotan oleh kaum kafir Quraisy selama tiga tahun. Bahkan beliau wafat di dalam masa tersebut.


Sebagai Mujahidah Tangguh


Sebagai istri, Khadijah RA turut mendakwahkan Islam dengan penuh susah payah. Seorang yang pertama kali masuk Islam lewat dakwah beliau adalah Zaid bin Haritsah dan keempat putrinya. Harta benda yang melimpah juga beliau infaqkan habis-habisan untuk membiayai perjuangan Islam.

Semangat juang beliau bahkan masih tampak di saat-saat terakhir menjelang wafat. Beliau berucap, ”Wahai Rasulullah, tiada lagi harta dan hal lainnya yang bersamaku yang dapat kusumbangkan untuk dakwah. Andai selepas kematianku, tulang-tulangku mampu ditukar dengan dinar dan dirham, maka gunakanlah itu untuk kepentingan dakwah yang panjang ini.”Dalam Kitab Shahih Bukhari terdapat sebuah hadits dari Abu Hurairah yang mengilustrasikan apresiasi atas kiprah juang Khadijah RA.


“Jibril datang kepada Nabi SAW dan berkata, ‘Wahai, Rasulullah, ini Khadijah telah datang membawa sebuah ,wadah berisi kuah, makanan atau minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan kepadanya salam dariRabbNya, dan beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah di jannah (yang terbuat) dari mutiara, yang tiada kegaduhan di dalamnya, dan tiada kelatihan di sana,” (HR. Bukhari).


Wallahu a’lam bishshawwab.


Demikian rangkaian kisah inspiratif Ummul Mukminin Sayyidah Khadijah RA. Semoga Allah memudahkan kita, khususnya para muslimah untuk meneladani keagungan pribadi beliau.


Post a Comment for "Kisah Awal Khadijah Bertemu dan Menjadi Istri Rasullullah Muhammad Saw "